RPP tembakau picu perdagangan tembakau impor - 27 Jul 2012
Pemerintah Propinsi Jawa Timur, DPRD Jatim dan beberapa elemen masyarakat tembakau di Jatim menolak rencana penandatanganan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengendalian Tembakau.
RPP ditolak, karena dianggap “kacamata kuda” atau hanya melihat dari sudut pandang kesehatan sementara semua soal termasuk pertanian tembakau, tata niaga, packaging, iklan, dll, ikut diatur. Hal itu disampaikan Ketua Tim Revitalisasi Pertembakauan Jatim Kabul Santoso, yang juga anggota tim Propinsi Jatim tersebut usai menyerahkan Paper Ilmiah (Academic Paper) mengenai RPP Tembakau kepada Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan Komisi IX DPR RI. "Di satu sisi RPP ini telah menyederhanakan persoalan karena melihat tembakau dan rokok hanya dengan perspektif kesehatan. Tetapi sekaligus juga melampaui kewenangannya (over authority), karena mengatur banyak soal di luar bidang kesehatan," kata Kabul. Yang lebih riskan, menurut Kabul, pengaturan tembakau dan rokok dalam RPP ini mengesampingkan aspek spesifikasi tembakau dan rokok kretek Indonesia. Ini bisa menstimulasi melonjaknya impor tembakau dan penggunaannya pada rokok Indonesia. “Pengaturan ini akan memancing perdagangan tembakau impor dan rokok beraroma tembakau impor menguasai pasar Indonesia. Ini sangat bahaya,” jelas mantan Rektor Universitas Jember ini. Jadi, kata Kabul, tidak perlu menunggu waktu lama dominasi pabrik-pabrik asing akan terjadi setelah itu. Indonesia akan menjadi tamu di negeri sendiri,” jelasnya. Menyinggung analisa tentang keterikatakan Indonesia terhadap peraturan global soal rokok atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), yang disinggung dalam paper akademik, Kabul mengatakan, pilihan Indonesia untuk tidak meratifikasi traktat FCTC harus dihormati sebagai sikap politik Indonesia. Amerika saja belum meratifikasi FCTC, dan masyarakat dunia menghargainya. “Jadi kenapa Indonesia harus ikut-ikutan jika pilihan meratifikasinya akan berdampak lebih besar terhadap masyarakatnya sendiri?” tanya Kabul. Meskipun demikian, Kabul mengatakan Indonesia tetap butuh regulasi tentang tembakau untuk kesehatan, tetapi lebih pada pengaturan perilaku merokok yang tidak mengganggu orang lain. “Jadi memperhatikan kepentingan kesehatan sekaligus para pemangku tembakau,” jelasnya. (jaringnews.com) |