28 Mar 2024
Home
×
Login Area
Tentang LKK
Struktur Organisasi
Keanggotaan
Program & Layanan
Agenda Kegiatan
HS CODE & Tarif Pabean
Peta Logistik
Tips
Peraturan Pemerintah
×
User ID/Email

Password

Register    Forgot Password
×
Operator/Agency/vessel name/voyage
Jadwal Kapal
Port Asal :
Port Tujuan :
 
×

PENDAFTARAN
No KADIN
Perusahaan*
Alamat *
 
*
Kode Pos
Telepon *
HP/Seluler
Fax
Email
Website
Pimpinan
Jabatan
Personal Kontak
Bidang Usaha
Produk/Jasa *
Merek
ISIAN DATA KEANGGOTAAN ONLINE**)
Email
Nama lengkap
Password
Retype Password
Code ==> Verify

*) Wajib diisi
**) Diisi jika menghendaki keanggotaan Online.

×

Reset Password!

*)


*) Alamat email sesuai dengan yang tercantum di profil Account.
×

 
LKK KADIN DKI JAKARTA
FREE CONSULTATION, REGISTER NOW !
Supported by
KADIN DKI JAKARTA
 

SOROTAN: Jangan ekspor mentah-mentah begitu saja - 27 May 2012

Ada kekhawatiran bahwa aturan bea keluar terhadap ekspor produk tambang dan mineral hanya mampu mendorong perusahaan tambang memenuhi kewajiban domestiknya, namun kemudian tetap akan melakukan ekspor sebanyak-banyaknya.

Pengenaan bea keluar komoditas mineral diharapkan bisa turut memperbaiki data ekspor hasil tambang. Selama ini pencatatan ekspor komoditas tersebut tidak terlalu diawasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu.

Karena itu, bisa saja data yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS) berbeda dengan perdagangan nyata di pelabuhan.

Sebelum dikenakan tarif bea keluar, aparat Bea dan Cukai memang tidak wajib memeriksa pelaporan ekspor mineral. Selama ini hanya dilaporkan volume sekian nilainya sekian, tanpa Bea Cukai merasa perlu mengecek nilainya benar atau tidak.

Pencatatan ekspor barang dilaporkan kepada Bea dan Cukai. BPS lalu mendata berdasar laporan itu.
Ada kemungkinan pencatatan tersebut di bawah estimasi. Dengan pengenaan bea keluar, data yang didapat akan lebih akurat. Kesahihan data ini penting.

Selain untuk penerimaan negara, data ekspor juga memengaruhi neraca pembayaran. Ini berhubungan dengan balance of payment.

Menteri keuangan telah menerbitkan PMK No 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar. Beleid tersebut berlaku sejak 16 Mei 2012.

Melalui aturan itu, 65 jenis mineral mentah dikenakan tarif 20 persen.

Dalam UU Mineral dan Batubara, komoditas tambang dilarang diekspor dalam bentuk barang mentah mulai 2014. Bambang mengatakan, larangan tersebut membuat ekspor komoditas mineral meningkat tajam sejak 2009.

Kondisi tersebut tidak bisa dibiarkan. Karena itu, pemerintah harus memberikan disinsentif berupa bea keluar. Sebaliknya, pemerintah akan memberikan insentif fiskal untuk pembangunan smelter atau pengolah mineral mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.

Komoditas terbarukan seperti CPO dan kakao telah dikenai bea keluar. Apalagi ini mineral yang tidak renewable.

Pembatasan ekspor batu bara, masih akan dikaji pemerintah. Pemurnian pengolahan batu bara tidak semudah mineral.

Selain itu, cadangan mineral juga tidak sebesar batu bara sehingga pembatasan mineral harus didahulukan.  Untuk batu bara ini, perlu didalami lagi karakter komoditasnya.

Komoditas mineral perlu diolah untuk memberikan nilai tambah. Contohnya, bauksit yang kalau diolah nilainya bisa tiga puluh kali lipat.

Penerapan bea keluar barang tambang ternyata juga memberi berkah lain bagi Indonesia. Tidak hanya menjaga sumber daya alam tidak dieksploitasi secara berlebihan.

Penerapan bea keluar membuat pemerintah bisa mengetahui secara pasti volume dan nilai ekspor barang tambang.

Selama ini data ekspor barang tambang Badan Pusat Statistik (BPS) berasal dari laporan Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai Kemenkeu.

Seringkali pemerintah menemukan ketidakcocokan data ekspor barang tambang dari Indonesia dengan data impor barang tambang di negara tujuan.

China (misalnya) mengklaim impor mineralnya lebih besar daripada ekspor RI yang Berarti ada selisih yang mungkin belum dilaporkan.

Sekarang dengan penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 75/PMK.011/2012 mulai 16 Mei 2012 lalu, volume dan nilai ekspor barang tambang akan dilaporkan dan dicek kebenarannya oleh petugas Ditjen Bea dan Cukai.

Angka ekspor yang tercatat akan lebih akurat dan pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja neraca pembayaran Indonesia.

Dengan penerapan bea keluar ini RI mendapatkan blessings in disguise berupa data akurat volume ekspor mineral.

Ekspor pada akhirnya akan mempengaruhi trade balance, current account, dan balance of payment.

Jadi bisa saja data ekspor barang tambang yang tercatat BPS saat ini di bawah yang seharusnya (undervalued).

Dari data ekspor barang tambang saat ini, diperkirakan potensi pada penerimaan dari penerapan bea keluar mencapai Rp13,2 triliun setahun.

Kebijakan bea keluar itu sebenarnya tidak ditujukan menambah penerimaan negara. Sebaliknya penerapan bea keluar ditujukan untuk mencegah barang tambang Indonesia dieksploitasi secara berlebihan.

Pemerintah akan menerapkan bea keluar untuk 65 jenis mineral mentah sebesar 20 persen untuk setiap komiditi. Aturan bea keluar ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan NO 75 Tahun 2012 yang resmi dikeluarkan pada 16 Mei 2012.

Beberapa alasan yang melatarbelakangi aturan tersebut a.l;

Pertama, semenjak keluar UU Mineral Batu Bara nomor 4 Tahun 2009 yang akan berlaku lima tahun setelah UU keluar dan menyebutkan bahwa, mineral tidak boleh lagi diekspor mentah.

Terdapat indikasi meningkatnya kinerja ekspor mineral secara besar besaran sebelum aturan tersebut diberlakukan.

Kedua, untuk meningkatkan nilai tambah komoditas pertambangan Indonesia. Sehingga RI tak hanya hanya ekspor semisal nikel ore (mentah) tapi yang sudah diolah.

Ketiga, untuk mendukung hilirisasi industri khususnya pertambangan. Sehingga nantinya barang yang dikirim dari kita itu barang jadi.

Perusahaan besar sendiri biasanya telah memiliki smelter atau pemurnian, sehingga tidak terkena aturan ini.

Perusahaan menengah dan kecil harus mengolah terlebih dahulu, mereka tidak harus punya, namun bisa membuat smelter bersama atau konsorsium.

Penerapan satu tarif dikarenakan selama ini ekspor mineral mayoritas dalam bentuk fisik hanya berupa tanah. Sehingga pemerintah menemui kendala untuk menentukan jenisnya.

Daripada BC kebinggungan dalam mengambil keputusan, ditetapkan flat dulu sementara, sampai kajian lebih lanjut dikeluarkan.

Tahun ini diperkirakan hanya separuh karena penerapan aturan ini mulai akhir semester I/2012.

Sementara itu, Kementerian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 75 Tahun 2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.

Aturan ini sebagai tindak lanjut dari Permen ESDM No. 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral serta Permendag No. 29 Tahun 2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan.

Penetapan bea keluar ini diberikan kepada 65 jenis barang hasil tambang untuk membenahi data ekspor yang selama ini dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Hingga saat ini data ekspor yang tercatat di BPS tidak sesuai dengan data impor yang tercatat di negara tetangga penerima ekspor mineral.

Tak menutup kemungkinan telah terjadi kebocoran eskpor mineral yang luput dari pengawasan pihak bea dan cukai. Hal ini menjadi persoalan tersendiri yang harus diperbaiki.

Sebelum adanya pemberlakuan bea keluar ini, eksportir mineral hanya berkewajiban melaporkan kegiatan ekspornya ke Ditjen Bea dan Cukai tanpa adanya pengecekan harga dan volume hasil mineral terlebih dahulu. Kemungkinan terjadinya kebocoran ekspor tambang mineral sangatlah besar.

Untuk itu, penetapan bea keluar dinilai tepat untuk menertibkan kegiatan ekspor di Indonesia serta mengoptimalkan dan menjaga penerimaan negara. Penetapan bea keluar

Ini hanya berlaku bagi 65 jenis hasil tambang berupa 21 logam, 10 non logam dan 34  batu-batuan.

Bea keluar ini sifatnya flat bagi 65 jenis hasil tambang, yaitu 20 persen dari Harga Patokan Ekspor (HPE) yang akan ditetapkan secara berkala.

Eksportir yang ingin melakukan aktivitas ekspor tambang mineral mentah, setiap eksportir harus terdaftar di Kemendag dan mendapatkan rekomendasi dari Kementerian ESDM terlebih dahulu.

Isi rekomendasi itu berupa ketentuan yang telah ditentukan oleh Kementerian ESDM beberapa saat lalu, salah satunya adalah bukti clean and clear.

Tujuannya, agar tidak terjadi tumpang tindih dengan eksportir lain. Sebelumnya juga akan di verifikasi oleh surveyor tetang kebenarannya.

Masing-masing eksportir yang sudah tedaftar, wajib melunasi royalty yang akan dikutip oleh Kementerian ESDM.

Namun, penetapan bea cukai ini sebagai disinsentif ekspor bukan sebagai penerimaan pajak.
Penetapan bea cukai ini juga untuk  menunjang pelaksanaan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba).

Mengantongi izin

Terkait Permendag No. 29 Tahun 2012 yang diterbitkan beberapa waktu lalu oleh Kemendag, sudah ada lima perusahaan tambang yang mendapatkan Eksportir Terdaftar Produk Pertambangan (ET-Pertambangan).

Tetapi jika lima perusahaan tersebut ingin mendapatkan izin ekspor pertambangan, mereka harus mendapatkan surat bukti ekspor tambang mineral dari Kementerian ESDM.

Salah satu dari lima perusahaan itu adalah PT Antam Tbk. Sedangkan yang lainnya adalah perusahaa swasta.

Surat bukti eskpor itu menerangkan volume mineral yang diekspor berapa, harganya berapa agar tidak jadi kebocoran serta data yang tidak sesuai lagi.

Hingga saat ini, sudah ada 10 perusahaan yang telah mengajukan pengurusan ET-Pertambangan di Kemendag.

Sepuluh perusahaan tersebut merupakan rekomendasi dari Kementerian ESDM dan masih berada dalam proses verifikasi di Kemendag.

Smelter

Sejak terbitnya Permen ESDM No. 7 Tahun 2012, sebanyak 126 perusahaan tambang telah menyerahkan proposal perencanaan pembangunan smelter ke Kementerian ESDM.

Peningkatan jumlah perusahaan yang berniat untuk membangun smelter di Indonesia merupakan salah satu hal positif yang harus disambut baik.

Sejak disahkannya UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba, yang mewajibkan setiap perusahaan tambang membangun smelter di Indonesia, hanya tujuh perusahaan yang telah memenuhi hal tersebut.

Melihat pergerakan yang lamban dari para pengusaha pertambangan dan meningkatnya jumlah ekspor biji mineral hingga 4000 persen, akhirnya Kementerian ESDM mengeluarkan peraturan pelarangan ekspor.

Sebelumnya hanya ada 24 perusahaan yang mengajukan proposal pembangunan smelter tetapi sejak Permen ESDM No 7 terbit, hingga saat ini sudah meningkat jumlahnya menjadi 126 perusahaan.

Keseluruhan proposal tersebut akan dikaji ulang. Pasalnya, jika 126 proposal tersebut dikabulkan, maka akan terlalu banyak pembangunan smelter di Indonesia.

Dikhawatirkan penyerahan proposal ini hanya dijadikan alat untuk dapat melakukan ekspor, sementara kesungguhannya dipertanyakan.

Selain itu, peningkatan jumlah proposal perencanaan pembangungan smelter ini juga tidak lepas dari kebijakan pemerintah untuk menetapkan bea keluar bagi ekspor biji mineral sebesar 20 persen.
Kebijakan ini pun dinilai sebagai salah satu alasan perusahaan tambang untuk membangun smelter.

Penetapan bea keluar ini, tentunya akan memberikan dampak positif bagi penerimaan negara.

Hal ini menuntut perusahaan tambang untuk tidak melakukan ekspor biji mineral.

 

Melalui pengolahan dan pemurnian yang dilakukan di dalam negeri, akan menaikkan penerimaan negara puluhan kali lipat dari penerimaan hasil ekspor biji mineral.

Dalam pemantauan di lapangan, pihak DJBC akan menjalankan PMK No. 75 Tahun 2012 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar dengan sebaik-baiknya.

Selain itu, DJBC akan terus melakukan komunikasi yang intens dengan Kementerian ESDM dan Kemendag untuk mengetahui secara akurat tentang aktivitas ekspor mineral di Indonesia.

Selain itu, pihaknya akan mengawasi kegiatan ekspor biji mineral agar semua pelaku usaha dapat mematuhi semua kebijakan ini.

Pemerintah masih membahas mengenai penerapan Peraturan Mineral Energi Sumber Daya Mineral Nomor 7 tentang pajak ekspor barang mentah tambang.

Pemerintah masih harus meyakinkan perusahaan tambang untuk dapat menerima penuh pengenaan pajak ekspor tambang sebesar 20 persen.

Royalti

Rencana pemerintah mengenakan bea keluar batubara terus mendapat kecaman. Masyarakat Pertambangan Indonesia (MPI) menyatakan, bea keluar untuk komoditas batubara tidak akan efektif untuk membatasi ekspor batubara dan meningkatkan pendapatan negara.

Agar polemik ini tidak berlarut-larut, MPI merekomendasikan penyamaan biaya royalti yang sama antara Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dengan Kuasa Pertambangan (KP) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Menurut MPI, saat ini biaya royalti antara pengusaha batubara tidak sama. Biaya royalti untuk KP dan IUP masihsebesar 6,5%. Sedangkan biaya royalti untuk PKP2B sebesar 13,5%.

MPI mengingatkan bahwa mengelola pertambangan bukan dengan cara menaikkan cukai atau pajak, tetapi melakukan pembinaan terhadappengusaha pertambangan dan menegakkan hukum.

Selain itu, untuk mengendalikan ekspor batubara tidak bisa dengan cara fiskal, namun pemerintah pusat harus membatasi ekspor dengan menggunakan sistem kuota.

Penerapan sistem kuota ini diberlakukan ketika perusahaan tambang mengajukan Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) kepada pemerintah.

Dengan pembatasan sistem kuota, diharapkan produksi batubara di dalam negeri juga ditekan. Dengan demikian, cadangan batubara dalam negeri umurnya masih panjang.

Saat ini, pemerintah hanya memberlakukan perusahaan pertambangan batu bara untuk memasok batubara sebesar 25% ke dalam negeri. Setelah kewajiban domestiknya terpenuhi, perusahaan tambang boleh melakukan kegiatan ekspor.

Akibatnya perusahaan tambang memenuhi kewajiban domestiknya baru kemudian akan melakukan ekspor sebanyak-banyaknya.

*Dari berbagai sumber