27 Apr 2024
Home
×
Login Area
Tentang LKK
Struktur Organisasi
Keanggotaan
Program & Layanan
Agenda Kegiatan
HS CODE & Tarif Pabean
Peta Logistik
Tips
Peraturan Pemerintah
×
User ID/Email

Password

Register    Forgot Password
×
Operator/Agency/vessel name/voyage
Jadwal Kapal
Port Asal :
Port Tujuan :
 
×

PENDAFTARAN
No KADIN
Perusahaan*
Alamat *
 
*
Kode Pos
Telepon *
HP/Seluler
Fax
Email
Website
Pimpinan
Jabatan
Personal Kontak
Bidang Usaha
Produk/Jasa *
Merek
ISIAN DATA KEANGGOTAAN ONLINE**)
Email
Nama lengkap
Password
Retype Password
Code ==> Verify

*) Wajib diisi
**) Diisi jika menghendaki keanggotaan Online.

×

Reset Password!

*)


*) Alamat email sesuai dengan yang tercantum di profil Account.
×

 
LKK KADIN DKI JAKARTA
FREE CONSULTATION, REGISTER NOW !
Supported by
KADIN DKI JAKARTA
 

Proses izin impor bahan baku industri lambat - 13 Feb 2013

Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) mengaku tidak terpengaruh rekomendasi Kementerian Pertanian yang membatasi impor 13 jenis produk hortikultura. Sebab, kebutuhan industri dan konsumsi umum berbeda.

Hanya saja, mereka mengeluhkan lamanya proses perizinan. Terlebih saat ini perizinan impor bahan baku industri harus melewati tiga kementerian. Proses importasi pun makan waktu. Ujung-ujungnya biaya produksi membengkak.

Ketua GAPMMI Adhi S. Lukman menyatakan kebutuhan buah impor untuk bahan baku seperti kentang meksiko atau tomat untuk saos, kerap tertahan di pelabuhan. Alasannya, izin atau rekomendasi dari Kementerian Perindustrian keluar lebih lama. Tanpa surat pengantar itu, Kementerian Pertanian tidak akan meloloskan bahan baku impor yang dibutuhkan industri dengan memberi RIPH.

"Industri itu ada yang nunggu 2-3 hari RIPH-nya keluar. Akhirnya apa, biayanya mahal. Biasanya kan dia dikasih waktu 14 hari (oleh bea cukai), lewat itu kontainer dibebani charge harian. Kira-kira Rp 1 juta per kontainer 40 feet per hari," ujarnya di Bidakara, Jakarta, Selasa (12/2).

Untuk mendapatkan RIPH, saat ini pengusaha industri makanan dan minuman harus mengurus surat di Kemenperin, Kementan, dan Kemendag. Dulu hanya melalui BPOM. Karena itu Lukman mengaku maklum bila kinerja perizinan relatif buruk.

"Dulu kemenperin tidak mengurusi rekomendasi impor, sekarang mengurusi. Tugas nambah, stafnya tidak ditambah, infrastruktur tidak nambah. Kementan juga gitu. Itu kan kerjaan yang luar biasa, sekarang harus mengeluarkan RIPH per item per impor, itu yang jadi masalah," ungkapnya.

Karena itu, GAPMMI mengusulkan pada Kementan supaya RIPH untuk kebutuhan industri diberikan sekali di awal tahun saja. Tidak perlu setiap kali impor seperti praktik yang terjadi sekarang. Dia menjamin akan mudah mengawasi distribusinya, sehingga potensi kebocoran ke pasar umum bisa diminimalisir.

"Ketahuan kok (kalau bocor). Mudah menelusuri, misalnya kamu impor lebih dari jatahnya 10.000, nah sisanya ribunya ke mana, dia harus membuktikan itu benar-benar untuk produksi. Kalau bocor tindak tegas, cabut izinnya," tegasnya. (merdeka.com)