Administrasi Harus Sederhana - 17 Jan 2014
JAKARTA – Pelabuhan di indonesia diminta menyederhanakan proses administrasi kepelabuhanan dengan menerapkan pelayanan satu atap untuk mengurangi lamanya waktu inap kontainer atau dwelling time di pelabuhan itu.
Setijadi, analis dari Supply Chain Indonesia, mengatakan permintaan itu merujuk besarnya kontribusi proses kepelabuhanan terhadap dwelling time di pelabuhan utama di Tanah Air.
“Apabila dilihat dari proses kepelabuhanan yang berkontribusi terhadap dwelling time, penyebab utamanya adalah tahap preclearance yang berkontribusi sekitar 60%,” katanya, Selasa (14/1).
Setijadi juga mengusulkan pelabuhan perlu mendorong implementasi operasional jasa kepelabuhanan tanpa henti atau beroperasi selama 24 jam 7 hari.
Dia mencontohkan penerimaan atas penyerahan dokumen impor atau kepabeanan (SPPB) bisa dilakukan dalam waktu 24 jam setiap harinya.
Dia melanjutkan perlu juga didorong implementasi Indonesia National Single Window (INSW) serta menetapkan dan memberlakukan standar waktu proses pelayanan kepelabuhanan.
“Misalnya waktu persetujuan pemberitahuan impor barang, juga mendorong percepatan pengajuan pemberitahuan impor barang dengan memberikan insentif terhadap pengajuan yang lebih awal.”
Dia menambahkan perlu dilakukan percepatan waktu proses kepelabuhanan, seperti percepatan pelayanan pemindahan kontainer yang terkena jalur merah oleh operator pelabuhan sesaat setelah menerima pengajuan dari importir atau PPJK.
Rekomendasi lainnya, pemeriksaan jalur merah dari Bea dan Cukai ditetapkan segera setelah kontainer yang akan diperiksa tiba dilokasi pemeriksaan.
Untuk memeriksa jalur merah, kata dia, pengelola lokasi terminal behandle harus bisa melakukan pengeluaran barang yang akan diperiksa secara efisien.
Setijadi menilai persoalan dwelling time berpengaruh terhadap waktu dan biaya dalam proses pengiriman barang melalui pelabuhan.
Dampak langsung dihadapi oleh perusahaan freight forwarder, perusahaan trucking, dan pemilik barang.
Untuk freight forwarder, imbuhnya dwelling time memengaruhi biaya, menambah ketidakpastian waktu, serta mempersulit perencanaan.
Bagi perusahaan trucking, Setijadi mengatakan dweling time memberikan ketidakpastian waktu, mempersulit perencanaan, serta produktivitas armada menjadi rendah.
“Sedangkan untuk pemilik barang misalnya perusahaan manufaktur keterlambatan waktu bongkar muat memengaruhi biaya, ketidakpastian untuk perencanaan persediaan bahan baku dan produksi,” paparnya.
Menurutnya, biaya yang oleh pelaku dan penyedia jasa logistik berdampak terhadap harga barang. Akibatnya masyarakat akan membeli barang dengan harga yang mahal akibat tambahan biaya karena dwelling time.
Selain itu, kata dia, daya saing produk menjadi rendah, baik untuk di dalam negeri maupun luar negeri.
Sumber Tulisan : Bisnis Indonesia, Kamis 16 January 2014
Foto : http://images.solopos.com |