Tata Ruang Priok Perlu Diubah - 17 Feb 2014
JAKARTA – Dewan Pemakai Jasa Angkutan Indonesia (Depalindo) mendesak percepatan pembenahan tata ruang Pelabuhan Tanjung Priok sebagai solusi menekan lamanya waktu tunggu kontainer atau dwelling time di pelabuhan.
Ketua Umum Dewan Pemakai Jasa Angkutan Indonesia (Depalindo) Toto Dirgantoro mengatakan persoalan dwelling time bukan hanya menjadi tanggung jawab PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II selaku operator Pelabuhan Tanjung Priok tetapi juga instansi Bea dan Cukai, hingga Karantina di pelabuhan.
“Karena itu butuh komitmen pemerintah, termasuk mendorong penataan ruang yang lebih baik terhadap tata kelola semua lahan untuk kegiatan di pelabuhan,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (16/2).
Menurutnya, langkah awal menata tata ruang di Pelabuhan Tanjung Priok bisa dimulai dari investarisasi aset pemerintah dan Pelindo II di pelabuhan tersebut.
Selanjutnya, tambahnya, dilakukan penataan ulang untuk penempatan peti kemas domestik, internasional, curah, dan lainnya.
“Pemerintah harus lebih serius membenahi Pelabuhan Tanjung Priok sebab para pemilik barang sangat dirugikan dengan lamanya waktu bongkar muat. Tanpa ada perubahan logistik terus melonjak dan pelaku usaha akan semakin sulit bersaing,” paparnya.
Setelah investarisasi aset selesai, katanya, dilanjutkan dengan penataan ruang untuk mengantisipasi penumpukan kontainer di pelabuhan. Langkah itu dapat memangkas dwelling time, mempercepat arus keluar-masuk barang, sehingga akan mengurangi biaya logistik ekspor impor.
“Saat ini dwelling time di Tanjung Priok masih belum ideal,” paparnya.
Dwelling time adalah ukuran waktu yang dibutuhkan kontainer impor, sejak kontainer dibongkar dari kapal sampai dengan keluar dari kawasan pelabuhan. Data yang disampaikan Kadin Indonesia menyebutkan dwelling time Tanjung Priok rata-rata mencapai 8 hari sedangkan data PT Pelindo II sudah turun menjadi 6 hari.
“Tanjung Priok ini merupakan Pelabuhan yang berkontribusi 70% terhadap kegiatan ekspor impor nasional, kegiatan di dalamnya lebih banyak peran Bea dan Cukai,” tuturnya.
Saat ini, beberapa lokasi bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok atau yang biasa disebut Jalur Merah, Jalur Hijau, dan Jalur Kuning belum berjalan sebagaimana harapan dunia usaha.
“Idealnya proses pemeriksaan peti kemas kategori jalur merah hingga kargo impor itu keluar pelabuhan itu 4 hari sampai 5 hari,” paparnya.
Menurutnya, kepadatan pelabuhan sebenarnya bisa diatasi jika respons dari semua pihak yang bertanggung jawab dilakukan secara cepat termasuk mengatasi infrastruktur di sekitar pelabuhan.
Toto memaparkan saat ini truk pelabuhan hanya mampu melayani 1 ritase dalam sehari akibat kemacetan. Sebelumnya, truk kontainer bisa menempuh 2 ritase dalam sehari.
“Artinya truk hanya pergi tidak bisa kembali atau sebaliknya. Akibatnya, pemilik barang harus menyewa truk lainnya dan ini menyebabkan biaya tambahan,” ujarnya.
Setelah 2016, Toto memprediksi arus bongkar muat (throughput) peti kemas ekspor impor melalui Pelabuhan Tanjung Priok bakal mengalami lonjakan 40% dari saat ini.
Pada tahun depan, dia menyatakan Indonesia bakal memasuki integrasi logistik di tingkat global. “Tanpa percepatan pembangunan Pelabuhan Priok, kita akan semakin sulit bersaing karena biaya logistik semakin tinggi,” ujarnya.
Sumber Tulisan : Bisnis Indonesia, Senin 17 February 2014
Foto : http://img.bisnis.com |